TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Grasi yang diberikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mendapat kritikan keras dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia. Dalam surat elektronik yang diterima Tribunnews.com, Sabtu (13/10/2012) Asrorun Niam Sholeh, Ketua Divisi Sosialisasi Komisi Perlindungan Anak Indonesia mengatakan membebaskan hukuman mati bagi bandar narkoba, dari sisi perlindungan anak sangat menyakitkan, tidak memiliki sensitifitas, dan tidak sejalan dengan komitmen moral terhadap perang terhadap kejahatan narkoba yang masuk kategori extra ordinary crime.
Niam Sholeh yang juga Wakil KetuaKomisi Perlindungan Anak Indonesia itu mengatakan, grasi memang wewenang Presiden yang diberikan konstitusi, pasal 14 UUD 1945. "Akan tetapi, dalam menjalankan wewenang, Presiden tidak boleh sewenang-wenang. Presiden terikat oleh ketentuan hukum, baik yang tertulis maupun yang hidup di masyarakat, termasuk sisi rasa keadilan masyarakat. Dalam menetapkan hukum, di samping mempertimbangan hak terpidana (termasuk pertimbangan kemanusiaan skalipun), tetap harus menjaga sisi keadilan korban dan sisi keadilan masyarakat. Peran negara harus menjamin terjaminnya keadilan dari ketiga sisi ini. Dalam pemberian grasi, termasuk putusan MA dlm kasus lain yg jg sejenis, pertimbangannya bersifat parsial, menafikan sisi perlindungan thd masyarakat, khususnya perlindungan anak," katanya.
Niam Sholeh mengingatkan, sebelumnya publik juga dilukai dengan grasi Presiden yang diberikan kepada Corby, "ratu mariyuana" dari Australia yang sangat kental pertimbangan politis, dan terindikasi Presiden takluk pada intervensi politik Australia. "Kebijakan yang mengorbankan semangat perlindungan anak, semangat perang total thdp kejahatan narkoba yang mengancam anak-anak Indonesia, dan menyebabkan punahnya generasi. Setelah takluk pada intervensi politik, kini grasi pada gembong narkoba mengindikasikan bertekuk lutut pada bandar, yang jelas-jelas mengancam anak-anak," tandasnya.
Menurut Niam Sholeh grasi yang diberikan, dengan alasan "barter" napi WNI yang disampaikan Jubir Presiden jelas tidak masuk akal sehat. "Barter napi dengan risiko hilangnya efek jera bagi bandar yang menyebabkan bebasnya peredaran narkoba dan akhirnya membunuh jutaan anak generasi. Ini jelas bertentangan dengan UU Narkotika yang keras dan tegas bagi pengedar dan bandar; bertentangan juga dengan akal sehat," ujarnya.
Seperti diketahui, anggota trio gembong narkoba sindikat internasional Deni Setia Maharwa alias Rapi Mohammed Majid lolos dari vonis hukuman mati berkat grasi Presiden SBY. Hukumannya kini penjara seumur hidup.
Deni mencoba menyelundupkan narkoba ke London pada 12 Januari 2000 sesaat sebelum berangkat dengan pesawat Cathay Pacific lewat Bandara Soekarno-Hatta. Pada 22 Agustus 2000, Pengadilan Negeri (PN) Tangerang menghukum Deni dengan hukuman mati. Putusan ini dikuatkan hingga putusan kasasi MA yang dijatuhkan pada 18 April 2001. Ironisnya, Presiden atas nama menjalankan wewenang, memberi grasi yg membatalkan hukuman mati... Cukup rakyat tersakiti, tercabik2 rasa keadilannya oleh yg sharusnya menjadi tmpat merajut asa diperolehnya keadilan... Jika Presiden tunduk dan takluk pada bandar narkoba, kemana bangsa akan dibawa.
(KPAI)
Anda sedang membaca artikel tentang
KPAI: Presiden Tersandera Bandar Narkoba
Dengan url
https://kriminalitasheboh.blogspot.com/2012/10/kpai-presiden-tersandera-bandar-narkoba.html
Anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya
KPAI: Presiden Tersandera Bandar Narkoba
namun jangan lupa untuk meletakkan link
KPAI: Presiden Tersandera Bandar Narkoba
sebagai sumbernya
0 komentar:
Posting Komentar